Masyarakat kelas bawah yang mendapat Bantuan Langsung Tunai (BLT) ternyata menggunakan sebagian BLT untuk membeli pulsa dan rokok dan sedikit untuk beli makanan bergizi. Fakta ini disampaikan pakar ekonomi Aviliani saat berbicara di Seminar Nasional “Bisnis Peternakan di Era Pemerintahan Jokowi” di Menara 165 Jakarta, Rabu 26 Nopember lalu.
Seminar diselenggarakan oleh ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) menghadirkan pembicara pimpinan organisasi peternakan yaitu wakil ketua GPPU (Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas ) Ir. Wahyu Nugroho, Ketua Umum GPMT (Asosiasi Produsen Pakan Indonesia) Drh.Sudirman, Wakil Ketua Umum Pinsar Indonesia (Perhimpunan Insan Perunggasan Indonesia) Ir.Eddy Wahyudin, Ketua Umum ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) Drh.Rakhmat Nuriyanto, Ketua Umum PPSKI (Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia) Ir.Teguh Boediyana, Ketua Umum AMI (Asosiasi Monogastrik Indonesia) Dr. Ir. Sauland Sinaga, serta pembicara tamu Dr. Aviliani. Acara ditutup dengan sebuah refleksi dari Ketua Dewan Daging Sapi Nasional (DDSN) Dr. Drh. Soehadji.
Melihat kenyataan yang seperti itu, tambah Aviliani, pemerintah SBY waktu itu mengatur bahwa pemberian BLT harus diterima Ibu rumah tangga supaya tidak salah sasaran. “Namun hal ini sulit karena faktanya setelah BLT diterima oleh istri, suami tetap minta bagian untuk beli rokok,” kata Aviliani. Ini menyebabkan konsumsi protein hewani sulit untuk berkembang.
Dalam seminar yang dihadiri oleh lebih dari 100 peserta yang terdiri dari stakeholder peternakan ini, Aviliani tampil menarik dengan menyampaikan perkembangan ekonomi terkini dan prediksi ekonomi di era pemeriintahan Jokowi.
Pakar Ekonomi yang kini menjadi komisaris Bank Mandiri ini mengatakan, ekonomi Indonesia bisa didorong tumbuh 7 persen namun hal ini berpotensi nilai dolar naik menjadi 16.000 rupiah. Ini karena pertumbuhan ekonomi Indonesia didorong oleh konsumsi rumah tangga, sedangkan sebagian besar bahan baku berbagai macam produk berasal dari impor. “Semakin tinggi pertumbuhan, impor bahan baku semakin tinggi, itu yang terjadi di negara kita,” tegasnya.
Aviliani memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2015 sebesar 5.5% dan itu sudah cukup bagus.
Di akhir presentasi ia mengingatkan bahwa populasi penduduk Indonesia yang besar mencerminkan adanya potensi pasar yang besar. Kedua, Indonesia mendapat bonus demografi. Indonesia akan sangat diuntungkan jika pemanfaatan tenaga kerja produktif dilakukan secara maksimal. Ketiga, Kemandirian pangan menjadi program pemerintah sehingga sektor pertanian dan peternakan masih akan tumbuh baik. Keempat, untuk itu perlu meningkatkan nilai tambah dari sektor peternakan dan pertanian. Kelima, seiring dengan kebutuhan pangan dunia yang meningkat, jika dikelola dengan baik, Indonesia dapat menjadi sumber ekspor pangan.
Tahun 2015, DOC Broiler 3 Miliar ekor
Sementara ini GPPU menyatakan potensi produksi DOC broiler sampai akhir tahun 2014 sebanyak 2,4 miliar ekor, dan tahun 2015 bisa mencapai 3 miliar ekor. Dinyatakan, Perunggasan 2015 merupakan pondasi untuk persiapan menghadapi MEA 2016, permasalahan yang akan dihadapi 2015 cukup berat sehingga Pemerintah, Asosiasi, Perusahaan dan Peternak harus bersama-sama untuk bisa membuat solusi bersama demi kemajuan Perunggasan di Indonesia
Sedangkan Ketua Umum GMPT Sudirman mengatakan saat ini terdapat 82 pabrik pakan di seluruh Indonesia dengan kapasitas produksi 20 juta ton/tahun. Produksi pakan tahun 2013 sebesar 13,6 juta ton dan tahun 2014 diperkirakan 15 juta ton dan 2015 sebesar 16,8 juta ton. Dikatakan bahwa, 86% produksi pakan dikonsumsi oleh ayam ras, yaitu 40% untuk ayam petelur dan 46% untuk ayam pedaging.
Sapi dan Babi
Ketua Umum PPSKI Teguh Boediyana mengatakan, pemerintah dan kita semua harus berterima kasih kepada para peternak skala rumah tangga yang tanpa mendapat apapun mereka mau memelihara sapi. Merekalah yang menjaga sapi tetap eksis di Indonesia.
Teguh menyoroti kegagalan pemerintah dalam program swasembada daging sapi yang menelan anggaran Rp 18 triliun selama 2010-2014. Dikatakan, target swasembada adalah impor ditekan menjadi 10% , namun kenyataannya sampai tahun 2014 angka impor sapi bakalan dan daging sapi jutru meningkat dibanding 2010.
Data menunjukan impor sapi bakalan tahun 2010 sebesar 475 ribu ekor dan tahun 2014 malah meningkat menjadi 551 ekor. Demikian pula impor daging yang semula 120 ribu ton (2010) kini (2014) menjadi 170 ribu ton.
Ditanya peserta mengenai jumlah ideal populasi sapi agar bisa swasembada daging sapi, Teguh mengatakan untuk perhitungan saat ini, angka 19 juta ekor sapi sudah cukup disebut swasembada dengan catatan masih boleh impor 10% dari kebutuhan, serta kriteria berat karkas sekitar 170 kg/ekor.
Sementara itu ketua umum AMI Dr Sauland Sinaga mengatakan peternakan babi tumbuh cukup baik di Indonesia, terbukti Indonesia bisa mengekspor babi sebanyak 1.000-1.500 ekor/hari ke Singapura. Populasi babi saat ini 7 juta ekor dengan perputaran bisnis sekitar 30 triliun per tahun dan nilai ekspor 62 juta USD per tahun. Diperkirakan dengan populasi babi sebesar itu dibutuhkan obat-obatan hewan senilai 109 miliar rupiah per tahun.
Menurut Sauland, tantangan peternakan babi adalah masalah tata ruang yang tidak jelas sehingga peternak terancam tidak mendapatkan lokasi peternakan yang permanen. Juga masalah bahan baku pakan yang fluktuatif, serta instansi pemerintah daerah yang belum berfungsi optimal.***
Incoming search terms:
- seminar peternakan 2015 (15)